Laman

Selasa, 08 Mei 2012

Sahabat


Satu demi satu, motor yang terparkir di garasi samping rumah aku keluarkan ke teras depan. Memang hari masih pagi, teman-teman yang lain masih tertidur dengan pulasnya. Kecuali Rama yang semenjak shubuh tadi pergi untuk mengantar koran, dia memang nyambi kerja sebagai loper koran. Jam di dinding masih menjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Tak mengherankan memang, tadi malam kita begadangan sampai adzan shubuh terdengar. Entah mengapa, tiba-tiba kami berkeinginan untuk sekedar berbagi cerita. Sesuatu yang sudah mulai jarang kita lakukan. Terutama ketika berbagai macam praktikum dan laporan sudah mulai menerjang tanpa henti. Memang berbagi cerita menjadi hal yang sering kami lakukan ketika memasuki masa awal-awal kuliah.
Kami tinggal berenam di rumah kontrakan ini. Aku dan tiga temanku, Ahmad, Dzakir dan Rifai, memang sudah sahabat lama. Kami berteman semenjak masih duduk di bangku SMA. Sedangkan satu orang yang lain, Ivan, adalah teman kuliahku satu angkatan dan satunya lagi, Rama, teman kuliah dari Dzakir. Rama dan Ivan sebenarnya kami ajak tinggal di kontrakan ini hanya untuk memenuhi kuota dan memperingan biaya urunan kontrakan. Lumayan, kami mengontrak rumah mungil dengan tiga kamar ini empat juta pertahunnya. Kami sudah terhitung satu tahun lewat delapan bulan tinggal di rumah ini.

Pertama kali memang hubungan antara kami berempat dengan Ivan dan Rama kurang begitu dekat. Namun seiring berjalannya waktu, mereka berdua pun akhirnya bisa dekat dengan kami berempat. Semenjak itulah, kami berenam suka berbagi cerita.

Kami berenam kebetulan sama-sama kuliah di UGM. Aku dan Ivan kebetulan kuliah di Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas MIPA. Dzakir dan Rama kuliah di Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Sedangkan Ahmad kuliah di Fakultas Filsafat dan Rifai kuliah di Fakultas Hukum.

**

Tadi malam sebenarnya kejadian tersebut berlangsung mengalir. Berawal dari aku dan Ivan nonton bareng pertandingan sepakbola Liga Inggris antara Chelsea lawan Manchester United. Kebetulan aku penggemar berat Chelsea, sedangkan Ivan penggemar berat Manchester United. Agar suasana nonton jadi lebih seru, kami bertaruh kecil-kecilan. Yang menang dapat jatah dipijat oleh yang kalah. Seusai nonton, kami berdua memasak mie, yang ternyata diikuti oleh yang lainnya, kecuali oleh Rama. Memang selama beberapa hari ini, Rama terlihat murung dan suka menyendiri. Beberapa kali kami secara bergantian bertanya, namun tak satupun jawaban kami dapat.

Acara makan mie bersama akhirnya berlanjut menjadi acara curhat bersama. Mulai dari praktikum yang gagal, dosen yang galak, makanan di kantin kampus yang semakin hari semakin mahal, sampai kisah cinta Ivan yang selalu kandas sebelum sempat “proklamasi”.

Selama kami curhat, Rama memilih untuk tiduran di kamarnya. Tak bergabung dengan kami. Sampai akhirnya, Dzakir yang sekamar dengan Rama, lebih memilih tidur di karpet ruang tengah.

**

Sesuai kesepakatan tadi malam, hari ini kami berencana untuk jalan-jalan bersama ke pantai. Meskipun hari minggu, kami kesulitan untuk bisa menghabiskan hari bersama seperti ini. Kami berenam, memang punya aktifitas lain di luar kuliah. Aku, Rama, Dzakir dan Rifai memilih untuk aktif di lembaga intra kampus. Sedangkan Ivan dan Ahmad memilih aktif di lembaga ekstra kampus. Rencana dadakan jalan-jalan ke pantai hari ini saja, membuat kami harus menunda agenda masing-masing. Hari ini saja, aku sudah berjanji dengan teman-teman BEM untuk memperbaiki majalah dinding. Tak apalah, sekali-sekali kita perlu untuk sekedar menyenangkan diri sendiri.

Akhirnya pada pukul sepuluh kurang lima menit, kami berangkat menuju pantai Depok. Pantai Depok terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis. Di Pantai Depok juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan. Sempat kami mengajak Rama ikut serta, tetapi ia enggan untuk ikut. Rama lebih memilih tinggal di kontrakan. “Biar saya di sini saja, jaga kontrakan. Khawatir kalau ada apa-apa”, jawabnya. Dengan tiga motor kami berangkat bersama-sama.

Memang, keluarga Rama termasuk keluarga kurang mampu. Rama bisa kuliah di UGM juga karena beasiswa. Uang kirimannya sangat terbatas, bahkan untuk makan sehari-hari saja kurang. Membeli buku adalah sesuatu yang sangat istimewa baginya. Untunglah, Ivan yang orang tuanya relatif berada, mempunyai sepeda onthel yang jarang ia pakai. Sepeda tersebut akhirnya ia berikan pada Rama, karena Ivan sendiri juga membawa motor. Bagi Rama, sepeda sudah lebih dari cukup. Dengan mempunyai sepeda, ia tak perlu mengeluarkan biaya transport ke kampus. Semenjak mengetahui kondisi keluarganya, kami tak pernah lagi meminta Rama untuk ikut urunan biaya listrik dan air bulanan.

**

Sekitar pukul setengah dua belas, kami sampai di Pantai Depok. Hari ini sangat cerah. Hari ini pantai ini terlihat sangat penuh. Kami memutuskan untuk duduk-duduk terlebih dahulu di sisi barat pantai. Kurang lebih selama satu jam kami bermain-main layaknya anak kecil. Bodoh amat dengan komentar orang, yang penting hari ini memang kami gunakan untuk bersenang-senang.

Setelah kelelahan, kami memilih untuk memesan makanan di salah satu warung. Sembari makan, kami membicarakan tentang apa yang terjadi tentang Rama. Jujur saja, aku sendiri merasa risih dan kurang nyaman dengan sikap Rama akhir-akhir ini. Ternyata apa yang kurasakan tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh teman-teman yang lain.

“Beberapa hari yang lalu, sebelum tidur, aku pernah coba tanya pada Rama. Kamu kenapa? Kok kelihatannya murung dan agak pucat?”, ucap Dzakir. “Dia hanya menjawab. Nggak papa kok. Paling-paling cuma maag-ku lagi kumat. Sudahlah gak usah dipikirin. Ntar paling sembuh-sembuh sendiri. Udah ah, aku ngantuk banget.”, lanjut Dzakir.

“Aku juga pernah tanya. Tapi yang gitu itu. Dia nggak ngomong apa-apa. Ditanya baik-baik, eh … dia malah mlengos. Kalau bukan temen sendiri udah aku damprat.”, tambah Ivan.

“Kelihatannya dia punya masalah. Tapi nggak mau ngomong ke kita. Mungkin dia minder atau sudah merasa nggak enak dulu sama kita. Kan semenjak kita tahu kondisi keuangannya, kita nggak pernah minta ke dia uang urunan listrik dan air.”, komentar Ahmad.

“Ya nggak bisa gitu, dong. Temen, ya temen. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri. Kalau ada masalah, ya ngomong. Siapa tahu kita bisa bantu. Kayak sama orang lain saja.”, keluh Rifai. “Aku dulu pas waktu nabrak Reta, kan juga ngomong sama kalian. Akhirnya kita urunan untuk biaya rumah sakit Reta.”, tambah Rifai.

“Iya. Tapi kamu untung, kita-kita yang buntung. Kamu yang nabrak orang, kita yang ikutan kena getahnya. Udah gitu, yang ditabrak malah kamu jadiin pacar. Mrongos kita…”, timpal Dzakir. Kami pun tertawa.

Memang pernah pada suatu ketika. Rifai menabrak seorang gadis yang sedang menyeberang. Walau pelan, namun tak ayal membuat gadis tersebut tangannya patah. Karena waktu itu dalam kondisi mendesak, kami akhirnya memutuskan untuk urunan menutupi biaya operasi gadis tersebut. Sampai-sampai pada waktu itu Rama merelakan sebagian besar uang jatah bulanan dari beasiswanya. Memang gadis yang ditabrak Rifai wajahnya cukup manis bagi kebanyakan orang. Dengan alasan agar terlihat bertanggung jawab, Rifai sering menengok gadis yang ditabraknya itu. Gadis itu ternyata karyawati baru Fakultas MIPA dan bernama Reta. Karena sering bertemu, lama kelamaan mereka berdua pun jadian. Kata orang, itu sengsara membawa nikmat.

Pembicaraan kami mengenai Rama pun berlanjut. Sampai akhirnya kami sepakat, malam nanti kami akan menyidangnya beramai-ramai. Terlihat kasar memang, namun apa boleh buat. Hanya itulah alternatif penyelesaian yang tersisa. Tak lupa pula, lima kilogram ikan segar kami bawa sebagai oleh-oleh. Tentu bukan untuk untuk Reta, tetapi untuk Bu Ida, tetangga depan kami sekaligus pemilik rumah yang kami kontrak. Yang selama ini sudah kami anggap seperti ibu sendiri.

**

Bu Ida memang jago masak. Balado ikannya memang dahsyat. Tak terasa dua piring nasi sudah memenuhi perutku. Teman-teman yang lain juga sampai kekenyangan. Tinggal Rama saja yang belum mencicipi balado ikan Bu Ida. Bu Ida hanya senyam-senyum saja melihat kelakuan kami. Kebetulan waktu itu, Bu Ida mengajak kami makan di rumahnya. Beliau juga sempat menanyakan, mengapa Rama nggak ikut makan di tempatnya.

Seusai ngobrol sejenak, kami pun kembali ke kontrakan. Kelihatannya ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana kami tadi siang. Memang pertama kali Rama terlihat malas sekali, namun karena kami memaksa akhirnya ia mau juga.

“Ma, kita ini berteman walau nggak begitu lama, tapi juga nggak bisa dihitung sebentar. Kita ini sudah seperti keluarga. Masalah satu orang, juga merupakan masalah bagi yang lain. Kita ini saling bantu. Jujur, kami merasa risih dan nggak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Walau kamu masih tetap menjalankan tugas piket harian, tapi bukan hanya itu yang kami minta. Dengan sikpamu selama ini kami merasa semakin nggak nyaman tinggal di sini. Kayak ada orang lain saja yang tinggal di sini. Selama beberapa hari ini, kalau kamu pergi juga nggak pernah bilang kemana, pulang jam berapa. Pulang-pulang juga begitu, masukin sepeda, trus langsung ke kamar, baca buku, nggak keluar-keluar seharian. Keesokan harinya juga begitu, sepulang dari loper koran, mandi, trus plas… ilang entah kemana. Kayak nggak ada orang lain aja di sini.”, buka Rifai.

“Sebenarnya kamu ini kenapa? Ada masalah? Ngomong aja. Siapa tahu kita bisa bantu.”, tambah Ahmad.

Suasana berubah menjadi hening sejenak, Rama hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Air mata terlihat mulai meleleh di pipinya. Dengan terbata ia menjawab, “Jujur, aku beberapa hari ini instropeksi diri. Aku merasa nggak enak dengan kalian. Selama ini aku nggak pernah ikut urunan bayar listrik dan air. Mungkin bagi kalian nggak papa, tapi aku merasa nggak enak. Trus kemudian beberapa hari yang lalu aku dapat kabar dari rumah. Tahun depan kelihatannya aku nggak bisa bayar kontrakan, karena nggak ada jatah dari orang tuaku. Uang jatah kontrakanku akan dipakai untuk biaya adikku yang mau masuk SMA. Aku bingung harus cari uang darimana untuk bayar uang kontrakan. Uang kiriman ditambah honor loper koran ditambah dengan jatah bulanan dari beasiswaku juga habis untuk makan sehari-hari. Sedangkan honor dari ngirim tulisan ke koran juga nggak tentu. Jujur, aku jadi bingung.”

“Ma, kami semua tahu bagaimana kondisi ekonomi keluargamu. Kami sudah maklum dengan itu. Kalau memang kamu nggak bisa urunan lagi untuk bayar kontrakan tahun depan, ya sudah, nggak papa. Santai aja. Kita-kita nggak keberatan kalau harus menutupi bagianmu. Untuk tahun depan, kamu nggak bisa urunan nggak papa. Kamu tetap tinggal di sini. Ntar bagianmu biar aku yang tanggung.”, timpal Ivan.

“Jujur, Van. Aku makin nggak enak sama kamu. Sepeda yang aku pakai sehari-hari itu juga punyamu. Trus ini ditambah kamu bayarin jatah kontrakanku. Itu uang orang tuamu, bukan uangmu.”, elak Rama.

“Ma, uang itu cuman titipan dari Tuhan. Bukan orang tuaku atau aku yang punya. Kamu nggak usah merasa nggak enak begitu. Toh semenjak tinggal serumah dengan kamu aku juga banyak belajar dari kamu. Bagaimana caranya bisa hidup prihatin dan hidup hemat. Jujur saja, mungkin kalau nggak kenal kamu, mungkin tabunganku nggak akan pernah sebesar seperti sekarang ini. Dulu sewaktu aku SMA, aku boros banget. Sehari aku bisa menghabiskan seratus ribu hanya untuk nongkrong nggak jelas ngapain dengan teman-temanku. Sekarang uang segitu bisa aku buat hidup selama tiga-empat hari. Itu juga karena kamu yang ngajari aku. Mana yang benar-benar kebutuhan, mana yang hanya sekedar keinginan, bagaimana menentukan skala prioritas. Apa yang aku pelajari dari kamu itu, kalau diuangkan nggak bakalan bisa keitung. Toh uang kiriman dari ortuku juga berlebih.”, jawab Ivan.

Pembicaraan kamipun mengalir, terlihat Rama sudah mulai semakin tenang. Rama yang ceria sudah mulai terlihat kembali. Bersahabat bukanlah bisnis, yang bisa dihitung secara matematis, apakah kita untung atau rugi. Persahabatan takkan pernah bisa dihitung dengan uang. Bersahabat adalah hubungan antar manusia yang paling tulus, tanpa pamrih. Dengan sahabatlah kita berbagi suka dan duka, dari sahabatlah kita belajar tentang kehidupan.

Malam itu kami berenam melaluinya dengan nonton bareng pertandingan sepakbola antara Arsenal melawan Tottenham Hotspur, the derby of North London. Untuk kali ini gantian Ahmad dengan Rifai yang bertaruh. Ahmad menjagokan Arsenal sedangkan Rifai merupakan penggemar berat Tottenham. Untuk kali ini, yang kalah bakalan dapat tugas masak untuk sarapan kita besok pagi.

sumber : http://www.burahol.com/2011/05/cerpen-persahabatan.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar